Teori Media Massa
A.Media dan Kekuasaan
Teori ilmu pengetahuan sosial menyangkut media merupakan teori yang mengalami perubahan, yang memberi jawaban terhadap berbagai masalah masyarkat yang mendesak dan membantu menjelaskan penemuan penelitian tersebut.
Media dalam masyarakat ditandai dengan penyebaran kekuasaan kepada individu, kelompok, dan kelas sosial secara tidak merata, serta beberapa hal berkaitan dengan struktur politik dan ekonomi yang berlaku.
Sehingga berdampak;
a.Media memiliki konsekuensi dan nilai ekonomi serta merupakan objek persaingan untuk
memperebutkan kontrol dan akses serta tidak terlepas dari peraturan politik, ekonomi dan
hukum.
b.Media massa sering dipandang sebagai alat kekuasaan yang efektif untuk menarik dan
mengarahkan perhatian; membujuk pendapat dan anggapan; mempengeruhi pilihan sikap;
memberikan status dan legitimasi; mendefinisikan dan membentuk persepsi realitas.
B.Teori masyarkat massa
Teori ini memberi penjelasan mengenai keberdaan dan kadar kekuasaan media dalam masyarakat yang ditandai oleh luasnya jangkauan, keterpencilan, institusi dan kurangnya integrasi kelompk setempat. Kenyataannya media dapat dikendalikan atau dikelola secara monopolistik untuk dijadikan alat utama yang efektif dalam mengorganisasi massa yang terdiri dari kelompok khalayak, konsumen, pasar dan pemilih.
Media massa merupakan corong penguasa, pemberi pendapat dan instruksi, serta kepuasan jiwani, sehingga bukan hanya membentuk hubungan ketergantungan (dependensi) masyarakat pada media dalam hal penciptaan pendapat tetapi juga dalam penciptaan identitas dan kesadaran.
W. Millis seorang teori ahli teori masyarakat massa menjelaskan bahwa potensi yang diciptakan media diarahkan untuk pengendalian non-demokratis yang berasal dari atas terutama karena adnya kecenderungan monopoli dan kesulitan untuk mengekang kecenderungan itu sendiri.
C.Teori Marxisme Klasik
Banyak orang bilang media massa itu jahat, karena media massa itu bisa membentuk opini publik. Ia bisa menggiring pendapat orang, dan membentuk sikap dari pendapat umum. Sinetron dan telenovela dikritik karena dapat membuai masyarakat dari keseharian persoalan, demikian pula MTv yang memiliki peluang menentukan genre musik yang tren saat ini atau kapanpun. Televisi yang menampilkan hasil poling yang tak adil dikritik karena dapat mempengaruhi pasar pemilihan. Ini menjadi dasar teori kritis, teori yang muncul dari perubahan yang besar dalam pemikiran marxisme klasik. Ia menyentuh mode pakaian, aksen bicara, musik pop, dan sebagainya.
Marxisme dan interprestasi marxis menekankan kenyataan behwa media massa pada hakekatnya merupakan alat kontrol kelas penguasa kapitalis untuk mempertahankan status quo yang dipegangnya. Media komunikasi cenderung dimilki oleh para anggota kelas berada yang diharapkan mampu untuk menjalankan media tersebut untuk kelasnya sendiri dan sebagai sarana melipatgandakan modalnya.
Teori ini menyebutkan adanya hubungan langsung antara pemilikan kekuatan ekonomi dengan penyebaran pesan yang menegaskan legitimasi dan nilai-nilai suatu kelas dalam masyarakat. Media tentu saja dalam hal ini selalu menyebarkan ideologi dari kelas yang berkuasa dalam masyarakat dan maka dari itu menekan kelas-kelas tertentu.
Berbagai ragam teori media Marxis yang lebih memusatkan perhatian pada gagasan daripada struktur material, memberi tekanan pada efek ideologis media terhadap kepentingan kelas penguasa dan penciptaan ulang hubungan yang bersifat eksploitatif dan manipulatif serta mempertegas dominasi kapitalisme dan kerendahan posisi kelas pekerja.
Sebagaimana dikatakan oleh Marx dan Engels :
"The ideas of the ruling class are in every epoch the ruling ideas, i.e. the class which is the ruling material force of society, is at the same time its ruling intellectual force. The class which has the means of material production at its disposal, has control at the same time over the means of mental production, so that thereby, generally speaking, the ideas who lack the means of mental production aresubject of it."
Para tokoh berpendapat :
a.Louis Althusser (1971) menyebut proses tersebut sebagai proses yang dijalankan oleh
Aparat Ideologi Negara yang tidak jauh berbeda dengan Aparat Represif Negara yang
memungkinkan negara kapitalis memperthankan keberadannya tanpa melakukan
kekerasan secar langsung, seperti angkatan bersenjata, angkatan kepolisian.
b.Gramsci dalam konsep hegemoninya (1971) bahwa suatu kebudayaan atau ideologi yang
berlaku dimana-mana dan secara internal bersifat konsisten serta sesuai dengan kelas
dominan atau kelas elit.
c.Masrcuse (1964) menilai media beserta segenap unsur system produksi misalnya terlibat
dalam penjualan dan pemaksaan segenap aspek sosial yang bersifat represif tetapi tetap
disenangi oleh orang lain.
d.Enzensberger, seorang pemikir kritis mengrahkan kritiknya terhadap birokrasi sosialisme
dan kapitalisme yang mapan namun melihat adanya mekanisme represif yang dilakukan
oleh media tradisional yang disebabkan adanya sentralisasi, depolitisasi, kontrol birokrasi
dan sikap pasif penerima.
Secara umum kandungan teori marxis dalam segi konsepnya menjelaskan cara untuk menjangkau atau melawan kekuasaan media, untuk menangani berbagai ragam organisasi media yang secara jelas tidak berada di bawah penanganan pemilik kapitalis dan kekuasaan negara.
Bagi negara sosialis (terutama Eropa Timur) marxisme negara barat tidak menawarkan interpetasi dan konsep perubahan dan tidak melihat adanya alasan untuk melakukan perubahan karena bagi mereka, media sudah mencerminkan pengaruh mereka dan mengatasnamakan kelas pekerja serta masyarakat kluas.
Bagi masyarakat kapitalis, kritikus Marxis menyerang media dengan cara menyingkap kecenderungan manipulatif atau menggantungkan harapan pada terciptanya pemilikan media secara kolektif sebagai imbangan terhadap kekuasaan media kelas kapitalis. Fenomena ini menciptakan adanya kemungkinan perubahan melalui pembentukan mikro atau media lapisan bawah, khususnya kondisi yang ditandai oleh represi terbuka dan penolakan terhadap media alternatif yang sah.
D.Teori Ekonomi-Politik Media (political economy media theory)
Menurut Vincent Moscow dalam bukunya The Political Economy of Communication (1998), pendekatan dengan teori ini pada intinya berpijak pada pengertian ekonomi politik sebagai studi mengenai relasi sosial, khususnya yang menyangkut relasi kekuasaan, baik dalam produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya (resourches). Dalam ekonomi politik komunikasi, sumber daya ini dapat berupa surat kabar, majalah, buku, kaset, film, internet dan sebagainya.
Seperti teori Marxisme Klasik, teori ini menganggap bahwa kepemilikan media pada segelintir elit pengusaha telah menyebabkan patologi atau penyakit sosial. Dalam pemikiran ini, kandungan media adalah komoditas yang dijual di pasar, dan informasi yang disebarluaskan dikendalikan oleh apa yang pasar akan tanggung. Sistem ini membawa implikasi mekanisme pasar yang tidak ambil resiko, suatu bentuk mekanisme pasar yang kejam karena membuat media tertentu mendominasi wacana publik dan lainnya terpinggirkan.
Beberapa realitas kontemporer di dalam media menjadikan kajian ekonomi-politik menjadi penting (McQuail, 2002:83). Pertama, pertumbuhan konsentrasi kepemilikan media di tangan segelintir orang saja, seperti Media Citra Nusantara yang menguasai bisnis televisi di Indonesia melalui RCTI, TPI dan Global TV.
Kedua, perkembangan global ekonomi-informasi (information economy) yang melibatkan bisnis telekomunikasi, film dan penyiaran seperti yang terjadi di Amerika Serikat di sekitar masa peralihan milenium. Agar tetap eksis, tak ada jalan lain bagi para pengusaha film selain menurunkan egonya dan mulai ikut-ikutan memproduksi film-film televisi, serial atau lepas.
Di puncak simbiosis, konglomerat film dan hiburan seperti Warner, Paramount, Fox, dan Disney memutuskan untuk melakukan langkah agresif dalam perluasan konglomerasi investasinya di dunia penyiaran, dengan membeli stasiun-stasiun televisi terkemuka yang ada di Amerika dengan dana yang tidak kecil. Dalam keputusan itu, Disney membeli ABC, Viacom mengambil alih CBS, dan Warner setelah merger dengan media Time dan American Online (AOL) mengakuisisi CNN. Di pihak lain, konglomerat film 20th Century Fox, setelah mendapat limpahan dana investasi dari Rupert Murdoch yang juga memiliki MTV, membuat Fox TV.
Ketiga, turunnya peran sektor publik di dalam media massa dan juga merosotnya kontrol publik dalam telekomunikasi melalui paket kebijakan deregulasi, privatisasi dan liberalisasi. Penjualan saham Indosat di tahun 2003-2004 kepada Singtel, Singapura adalah bukti nyata dari hal ini. Keempat adalah kepemilikan silang (cross ownership) yang semakin mendominasi pasar. Di Indonesia, Kelompok Kompas Gramedia dan Jawa Pos Grup merupakan dua konglomerasi yang memiliki berbagai lini usaha media, seperti koran, tabloid, majalah dan televisi.
------------------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Effendy, Onong U. “Komunikasi dan Modernisasi.” Bandung : Alumni. 1981
McQuail, Denis. “Teori Komunikasi Massa, Sebuah Pengantar.” Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga. 1987
Mulyana, Deddy. “Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar.” Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000
Severin, Werner J. & James W. Tankard, Jr. “Teori Komunikasi : Sejarah, Metode, dan Terapan Di Dalam Media Massa.” Edisi ke-5. Jakarta : Prenada Media. 2005
Wiryanto,“Teori Komunikasi Massa.” Jakarta : PT. Grasindo, 2000
------------------------------------------------------------------------------------------------
q post tugas kuliah sapa tau bisa berguna ... he he he he
A.Media dan Kekuasaan
Teori ilmu pengetahuan sosial menyangkut media merupakan teori yang mengalami perubahan, yang memberi jawaban terhadap berbagai masalah masyarkat yang mendesak dan membantu menjelaskan penemuan penelitian tersebut.
Media dalam masyarakat ditandai dengan penyebaran kekuasaan kepada individu, kelompok, dan kelas sosial secara tidak merata, serta beberapa hal berkaitan dengan struktur politik dan ekonomi yang berlaku.
Sehingga berdampak;
a.Media memiliki konsekuensi dan nilai ekonomi serta merupakan objek persaingan untuk
memperebutkan kontrol dan akses serta tidak terlepas dari peraturan politik, ekonomi dan
hukum.
b.Media massa sering dipandang sebagai alat kekuasaan yang efektif untuk menarik dan
mengarahkan perhatian; membujuk pendapat dan anggapan; mempengeruhi pilihan sikap;
memberikan status dan legitimasi; mendefinisikan dan membentuk persepsi realitas.
B.Teori masyarkat massa
Teori ini memberi penjelasan mengenai keberdaan dan kadar kekuasaan media dalam masyarakat yang ditandai oleh luasnya jangkauan, keterpencilan, institusi dan kurangnya integrasi kelompk setempat. Kenyataannya media dapat dikendalikan atau dikelola secara monopolistik untuk dijadikan alat utama yang efektif dalam mengorganisasi massa yang terdiri dari kelompok khalayak, konsumen, pasar dan pemilih.
Media massa merupakan corong penguasa, pemberi pendapat dan instruksi, serta kepuasan jiwani, sehingga bukan hanya membentuk hubungan ketergantungan (dependensi) masyarakat pada media dalam hal penciptaan pendapat tetapi juga dalam penciptaan identitas dan kesadaran.
W. Millis seorang teori ahli teori masyarakat massa menjelaskan bahwa potensi yang diciptakan media diarahkan untuk pengendalian non-demokratis yang berasal dari atas terutama karena adnya kecenderungan monopoli dan kesulitan untuk mengekang kecenderungan itu sendiri.
C.Teori Marxisme Klasik
Banyak orang bilang media massa itu jahat, karena media massa itu bisa membentuk opini publik. Ia bisa menggiring pendapat orang, dan membentuk sikap dari pendapat umum. Sinetron dan telenovela dikritik karena dapat membuai masyarakat dari keseharian persoalan, demikian pula MTv yang memiliki peluang menentukan genre musik yang tren saat ini atau kapanpun. Televisi yang menampilkan hasil poling yang tak adil dikritik karena dapat mempengaruhi pasar pemilihan. Ini menjadi dasar teori kritis, teori yang muncul dari perubahan yang besar dalam pemikiran marxisme klasik. Ia menyentuh mode pakaian, aksen bicara, musik pop, dan sebagainya.
Marxisme dan interprestasi marxis menekankan kenyataan behwa media massa pada hakekatnya merupakan alat kontrol kelas penguasa kapitalis untuk mempertahankan status quo yang dipegangnya. Media komunikasi cenderung dimilki oleh para anggota kelas berada yang diharapkan mampu untuk menjalankan media tersebut untuk kelasnya sendiri dan sebagai sarana melipatgandakan modalnya.
Teori ini menyebutkan adanya hubungan langsung antara pemilikan kekuatan ekonomi dengan penyebaran pesan yang menegaskan legitimasi dan nilai-nilai suatu kelas dalam masyarakat. Media tentu saja dalam hal ini selalu menyebarkan ideologi dari kelas yang berkuasa dalam masyarakat dan maka dari itu menekan kelas-kelas tertentu.
Berbagai ragam teori media Marxis yang lebih memusatkan perhatian pada gagasan daripada struktur material, memberi tekanan pada efek ideologis media terhadap kepentingan kelas penguasa dan penciptaan ulang hubungan yang bersifat eksploitatif dan manipulatif serta mempertegas dominasi kapitalisme dan kerendahan posisi kelas pekerja.
Sebagaimana dikatakan oleh Marx dan Engels :
"The ideas of the ruling class are in every epoch the ruling ideas, i.e. the class which is the ruling material force of society, is at the same time its ruling intellectual force. The class which has the means of material production at its disposal, has control at the same time over the means of mental production, so that thereby, generally speaking, the ideas who lack the means of mental production aresubject of it."
Para tokoh berpendapat :
a.Louis Althusser (1971) menyebut proses tersebut sebagai proses yang dijalankan oleh
Aparat Ideologi Negara yang tidak jauh berbeda dengan Aparat Represif Negara yang
memungkinkan negara kapitalis memperthankan keberadannya tanpa melakukan
kekerasan secar langsung, seperti angkatan bersenjata, angkatan kepolisian.
b.Gramsci dalam konsep hegemoninya (1971) bahwa suatu kebudayaan atau ideologi yang
berlaku dimana-mana dan secara internal bersifat konsisten serta sesuai dengan kelas
dominan atau kelas elit.
c.Masrcuse (1964) menilai media beserta segenap unsur system produksi misalnya terlibat
dalam penjualan dan pemaksaan segenap aspek sosial yang bersifat represif tetapi tetap
disenangi oleh orang lain.
d.Enzensberger, seorang pemikir kritis mengrahkan kritiknya terhadap birokrasi sosialisme
dan kapitalisme yang mapan namun melihat adanya mekanisme represif yang dilakukan
oleh media tradisional yang disebabkan adanya sentralisasi, depolitisasi, kontrol birokrasi
dan sikap pasif penerima.
Secara umum kandungan teori marxis dalam segi konsepnya menjelaskan cara untuk menjangkau atau melawan kekuasaan media, untuk menangani berbagai ragam organisasi media yang secara jelas tidak berada di bawah penanganan pemilik kapitalis dan kekuasaan negara.
Bagi negara sosialis (terutama Eropa Timur) marxisme negara barat tidak menawarkan interpetasi dan konsep perubahan dan tidak melihat adanya alasan untuk melakukan perubahan karena bagi mereka, media sudah mencerminkan pengaruh mereka dan mengatasnamakan kelas pekerja serta masyarakat kluas.
Bagi masyarakat kapitalis, kritikus Marxis menyerang media dengan cara menyingkap kecenderungan manipulatif atau menggantungkan harapan pada terciptanya pemilikan media secara kolektif sebagai imbangan terhadap kekuasaan media kelas kapitalis. Fenomena ini menciptakan adanya kemungkinan perubahan melalui pembentukan mikro atau media lapisan bawah, khususnya kondisi yang ditandai oleh represi terbuka dan penolakan terhadap media alternatif yang sah.
D.Teori Ekonomi-Politik Media (political economy media theory)
Menurut Vincent Moscow dalam bukunya The Political Economy of Communication (1998), pendekatan dengan teori ini pada intinya berpijak pada pengertian ekonomi politik sebagai studi mengenai relasi sosial, khususnya yang menyangkut relasi kekuasaan, baik dalam produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya (resourches). Dalam ekonomi politik komunikasi, sumber daya ini dapat berupa surat kabar, majalah, buku, kaset, film, internet dan sebagainya.
Seperti teori Marxisme Klasik, teori ini menganggap bahwa kepemilikan media pada segelintir elit pengusaha telah menyebabkan patologi atau penyakit sosial. Dalam pemikiran ini, kandungan media adalah komoditas yang dijual di pasar, dan informasi yang disebarluaskan dikendalikan oleh apa yang pasar akan tanggung. Sistem ini membawa implikasi mekanisme pasar yang tidak ambil resiko, suatu bentuk mekanisme pasar yang kejam karena membuat media tertentu mendominasi wacana publik dan lainnya terpinggirkan.
Beberapa realitas kontemporer di dalam media menjadikan kajian ekonomi-politik menjadi penting (McQuail, 2002:83). Pertama, pertumbuhan konsentrasi kepemilikan media di tangan segelintir orang saja, seperti Media Citra Nusantara yang menguasai bisnis televisi di Indonesia melalui RCTI, TPI dan Global TV.
Kedua, perkembangan global ekonomi-informasi (information economy) yang melibatkan bisnis telekomunikasi, film dan penyiaran seperti yang terjadi di Amerika Serikat di sekitar masa peralihan milenium. Agar tetap eksis, tak ada jalan lain bagi para pengusaha film selain menurunkan egonya dan mulai ikut-ikutan memproduksi film-film televisi, serial atau lepas.
Di puncak simbiosis, konglomerat film dan hiburan seperti Warner, Paramount, Fox, dan Disney memutuskan untuk melakukan langkah agresif dalam perluasan konglomerasi investasinya di dunia penyiaran, dengan membeli stasiun-stasiun televisi terkemuka yang ada di Amerika dengan dana yang tidak kecil. Dalam keputusan itu, Disney membeli ABC, Viacom mengambil alih CBS, dan Warner setelah merger dengan media Time dan American Online (AOL) mengakuisisi CNN. Di pihak lain, konglomerat film 20th Century Fox, setelah mendapat limpahan dana investasi dari Rupert Murdoch yang juga memiliki MTV, membuat Fox TV.
Ketiga, turunnya peran sektor publik di dalam media massa dan juga merosotnya kontrol publik dalam telekomunikasi melalui paket kebijakan deregulasi, privatisasi dan liberalisasi. Penjualan saham Indosat di tahun 2003-2004 kepada Singtel, Singapura adalah bukti nyata dari hal ini. Keempat adalah kepemilikan silang (cross ownership) yang semakin mendominasi pasar. Di Indonesia, Kelompok Kompas Gramedia dan Jawa Pos Grup merupakan dua konglomerasi yang memiliki berbagai lini usaha media, seperti koran, tabloid, majalah dan televisi.
------------------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Effendy, Onong U. “Komunikasi dan Modernisasi.” Bandung : Alumni. 1981
McQuail, Denis. “Teori Komunikasi Massa, Sebuah Pengantar.” Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga. 1987
Mulyana, Deddy. “Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar.” Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000
Severin, Werner J. & James W. Tankard, Jr. “Teori Komunikasi : Sejarah, Metode, dan Terapan Di Dalam Media Massa.” Edisi ke-5. Jakarta : Prenada Media. 2005
Wiryanto,“Teori Komunikasi Massa.” Jakarta : PT. Grasindo, 2000
------------------------------------------------------------------------------------------------
q post tugas kuliah sapa tau bisa berguna ... he he he he
0 komentar:
Posting Komentar